Eva Arnaz di dalam film "Cintaku di Rumah Susun (1987)", sutradara Nya' Abbas Akup
Ilustrasi dari buku: "Ibu, apakah peran anda dalam MEMELIHARA RUMAH?"
Terbitan Direktorat Perumahan - Departemen Pekerjaan Umum (April - 1982)
Angga Cipta di depan Rumah Susun Kemayoran (1993)
Judul pameran ini dipelintir dari jargon sebuah perbankan yang menawarkan kredit cicilan ringan untuk hunian di awal tahun ‘90-an, dengan bunyi asli “Besar Kecil Sama Saja, Asal Rumah Sendiri”. Jika pameo itu menawarkan ilusi tentang kepemilikan individu dalam bingkai ekonomi kapitalis, pada praktik sehari-harinya, Rumah Susun tidak pernah lepas dari tegangan kehidupan kolektif; berbagi tempat, perangkat, dan siasat di antara konstruksi batas dan sekat yang telah dibuat. Ikatan sosial antar penghuni melenturkan petak privat dan publik yang terproyeksi di dalam perencanaan. Kemutakhiran fungsional yang ditawarkan di awal lambat laun memudar; dimakanai, diokupansi, diapropriasi, ditumpuk, dialihfungsi, dan dibongkar sesuai dengan konteks perkembangan kebutuhan penghuni.
Rumah Susun muncul sebagai tipologi hunian baru di Jakarta sejak pertengahan dekade 1970-an, merespon kebutuhan perumahan di kota yang semakin sempit akibat ledakan laju pembangunan dan pengadu nasib yang terus berdatangan. Kehadirannya membawa dinamika baru cara berhuni di Jakarta--dari yang menapak di atas penampang tanah kemudian menumpu di atas lapis-lapis plat beton, melalui serangkaian proses adaptasi sosiokultural dari waktu ke waktu. Dari pengalaman dan kejadian yang dilalui sehari-hari oleh penghuni, lahirlah siasat warga untuk menegosiasikan ketegangan yang ada. Melalui pembacaan, pemahaman, dan penafsiran ulang atas pengalaman itu, lahirlah pengetahuan baru. Hal ini dapat kita amati langsung dari pengalaman dua seniman di dalam proyek ini; Angga Cipta (Acip) yang tinggal di Rumah Susun Kemayoran dan Raslene
yang mengontrak di Rumah Susun Tebet.
Acip tumbuh besar di Rumah Susun Kemayoran sejak tahun 1992, di sebuah blok bangunan yang diberi nama Dakota. Acip dan keluarga pindah ke sana setelah rumahnya di Jalan Haji Jiung diratakan untuk pengembangan wilayah Kemayoran. Setiap hari Acip naik ke atas untuk “pulang”. Ia menghuni sebuah ruangan di lantai tiga, yang dindingnya dilubangi menghubungkan dua unit dengan luas masing-masing 21 meter persegi, bersama orangtua dan adik perempuannya. Proses “pulang ke atas” ini yang membedakan pengalaman ruang Acip dengan kita yang tinggal di rumah biasa di atas sebidang tanah. Belakangan, pengalamannya mengkristal dalam karya video untuk lokakarya Jakarta 32° tahun 2008. Dari matanya, terekam kecerdasan warga pada skala yang intim; menyandarkan sepeda di lorong senyap, menjemur pakaian di antara lubang terhembus angin, berbagi makanan lewat jendela kamar, menarik seutas tali untuk belanja di warung bawah, hingga berbagi ruang serta perabot di depan rumah. Acip meninggalkan rusun itu ketika mulai bekerja. Kini bersama teman-temannya, ia mengontrak sebuah rumah di daerah Tebet. Dengan pernah tinggal di rusun, Acip tidak hanya memiliki keuntungan sosial dan kultural untuk hidup berdampingan dengan orang lain, namun juga mendapatkan modal untuk praktik artistiknya.
Sebaliknya bagi Raslene. Lebih dari dua puluh lima tahun tinggal di rumah, ia pindah ke lantai empat Rusun Tebet pada tahun 2019. Baik di rumah maupun di Rusun, Raslene lebih suka menjelajah isi pikiran di kamar tidurnya sendirian. Namun, pindah ke rumah susun memaksanya menjadi lebih mandiri; membersihkan genangan air di balkon, mengusir tikus-tikus liar, mengisi ulang galon dan gas (dengan mengangkutnya dari lantai bawah), hingga belanja bahan makanan sehari-hari. Dengan ruang yang terbatas, ia perlu bersiasat mengatur perabotan seefisien mungkin. Tinggi tubuhnya sekitar 155 centimeter dan lebar 38 centimeter, Raslene merancang sendiri perabot rumah yang sesuai dengan ukuran itu. Ranjangnya dibuat dari susunan beberapa kotak kayu peti kemas 40x60cm, yang sekaligus untuk menyimpan buku di bagian bawahnya. Lemari baju menjadi sekat area tidur dan duduk. Selain itu, perabot bongkar pasang menggantung pada dinding untuk menjaga lantai tetap leluasa dari barang-barang. Seketika pola hidup Raslene berubah, dibentuk oleh ruang yang dihuninya, sebagaimana pula ia membentuk ruangan itu.
Mendiskusikan imajinasi-imajinasi sosio-spasial yang terbentuk dari pengalaman intim berhuni di Rumah Susun menjadi tujuan utama proyek ini. Pertanyaan tentang “Apa yang dapat kita pelajari dari pengalaman berhuni di Rumah Susun?” adalah premis awal proses penelusuran. Bagaimana pengetahuan baru tentang Rumah Susun dapat lahir dari praktik spasial penghuninya? Dengan melihat sudut pandang dua seniman yang menjadi subjek yang tinggal di Rumah Susun, setidaknya kita mendapatkan kaca mata lain tentang Rumah Susun di luar aspek fisik dan fungsional. Menyelidiki aspek sosial dan kultural, serta menyerap pengetahuan lewat pengalaman keseharian Rumah Susun adalah hal utama yang dicari di dalam proyek seni ini, setidaknya dalam rentang waktu setelah lebih dari 20 tahun sejak Rumah Susun berdiri di Jakarta.
Rifandi S. Nugroho - 2020